KH. Hilmi Aminuddin
Kun kitaaban mufiidan bila ‘unwaanan, wa laa takun ‘unwaanan bila kitaaban. Jadilah kitab yang bermanfaat walaupun tanpa judul. Namun, jangan menjadi judul tanpa kitab.
Pepatah dalam bahasa Arab itu menyiratkan makna yang dalam, terutama menyangkut kondisi bangsa saat ini yang sarat konflik perebutan kekuasaan dan pengabaian amanah oleh pemimpin-pemimpin yang tidak menebar manfaat dengan jabatan dan otoritas yang dimilikinya. Bangsa ini telah kehilangan ruuhul jundiyah, yakni jiwa ksatria. Jundiyah adalah karakter keprajuritan yang di dalamnya terkandung jiwa ksatria sebagaimana diwariskan pejuang dan ulama bangsa ini saat perjuangan kemerdekaan.
Semangat perjuangan (hamasah jundiyah) adalah semangat untuk berperan dan bukan semangat untuk mengejar jabatan, posisi, dan gelar-gelar duniawi lainnya (hamasah manshabiyah). Saat ini, jiwa ksatria itu makin menghilang. Sebaliknya, muncul jiwa-jiwa kerdil dan pengecut yang menginginkan otoritas, kekuasaan, dan jabatan, tetapi tidak mau bertanggung jawab, apalagi berkurban. Yang terjadi adalah perebutan jabatan, baik di partai politik, ormas, maupun pemerintahan. Orang berlomba-lomba mengikuti persaingan untuk mendapatkan jabatan, bahkan dengan menghalalkan segala cara. Akibatnya, di negeri ini banyak orang memiliki “judul”, baik judul akademis, judul keagamaan, judul kemiliteran, maupun judul birokratis, yang tanpa makna. Ada judulnya, tetapi tanpa substansi, tanpa isi, dan tanpa roh.
Padahal, ada kisah-kisah indah dan heroik berbagai bangsa di dunia. Misalnya, dalam Sirah Shahabah, disebutkan bahwa Said bin Zaid pernah menolak amanah menjadi gubernur di Himsh (Syria). Hal ini membuat Umar bin Khattab RA mencengkeram leher gamisnya seraya menghardiknya, “Celaka kau, Said! Kau berikan beban yang berat di pundakku dan kau menolak membantuku.” Baru kemudian, dengan berat hati, Said bin Zaid mau menjadi gubernur.
Ada lagi kisah lain, yaitu Umar bin Khattab memberhentikan Khalid bin Walid pada saat memimpin perang. Hal ini dilakukan untuk menghentikan pengultusan kepada sosok panglima yang selalu berhasil memenangkan pertempuran ini. Khalid menerimanya dengan ikhlas. Dengan singkat, ia berujar, “Aku berperang karena Allah dan bukan karena Umar atau jabatanku sebagai panglima.” Ia pun tetap berperang sebagai seorang prajurit biasa. Khalid dicopot “judul”-nya sebagai panglima perang. Namun, ia tetap membuat “kitab” dan membantu menorehkan kemenangan.
Ibrah yang bisa dipetik dari kisah-kisah tersebut adalah janganlah menjadi judul tanpa kitab; memiliki pangkat, tetapi tidak menuai manfaat. Maka, ruuhul jundiyah atau jiwa ksatria yang penuh pengorbanan harus dihadirkan kembali di tengah bangsa ini sehingga tidak timbul hubbul manaashib, yaitu cinta kepada kepangkatan, jabatan-jabatan, bahkan munafasah ‘alal manashib, berlomba-lomba untuk meraih jabatan-jabatan. Semoga.
Sumber: Hikmah Republika, 26 April 2010
Selasa, 27 April 2010
TAK JADI MENCURI TERONG
LALU ALLAH KARUNIAKAN UNTUKNYA
SEORANG ISTERI
Di Damaskus, ada sebuah mesjid besar, namanya mesjid jami' At-Taubah. Dia adalah sebuah mesjid yang penuh keberkahan. Di dalamnya ada ketenangan dan keindahan. Sejak tujuh puluh tahun, di mesjid itu ada seorang syaikh pendidik (murabbi) yang alim dan mengamalkan ilmunya, namanya Syaikh Salim Al-Masuthi. Dia sangat fakir sehingga menjadi contoh dalam kefakirannya, dalam menahan diri dari meminta, dalam kemuliaan jiwanya dan dalam berkhidmat untuk kepentingan orang lain.
Saat itu ada pemuda yang tinggal di sebuah kamar dalam masjid. Sudah dua hari berlalu tanpa ada makanan yang dapat dimakannya. Dia tidak punya makanan ataupun uang untuk membeli makanan. Saat datang hari ketiga dia merasa bahwa dia akan mati, lalu dia berfikir tentang apa yang akan dilakukan. Menurutnya, saat ini dia telah sampai pada kondisi terpaksa yang membolehkannya memakan bangkai atau mencuri sekadar untuk bisa menegakkan tulang punggungnya. Itulah pendapatnya dalam kondisi semacam ini.
Mesjid tempat dia tinggal itu, atapnya bersambung dengan atap beberapa rumah yang ada di sampingnya. Hal ini memungkinkan orang pindah dari rumah pertama
sampai rumah terakhir dengan berjalan di atas atap rumah-rumah tersebut. Maka, dia pun naik ke atas atap masjid dan dari situ dia pindah ke rumah sebelah. Di situ dia melihat para wanita, maka dia memalingkan pandangannya dan menjauh dari rumah itu. Lalu dia lihat rumah yang di sebelahnya lagi. Keadaannya sedang sepi dan dia mencium ada bau masakan berasal dari rumah itu. Rasa laparnya bangkit, seolah-olah bau masakan tersebut magnet yang menariknya.
Rumah-rumah di masa itu banyak dibangun dengan satu lantai, maka dia melompat dari atap ke dalam serambi. Dalam sekejap dia sudah ada di dalam rumah dan dengan cepat dia masuk ke dapur lalu mengangkat tutup panci yang ada di situ. Di lihatnya sebuah terong besar dan telah dimasak. Lalu dia ambil satu, karena rasa laparnya dia tidak lagi merasakan panasnya, digigitlah terong yang ada di tangannya dan saat dia mengunyah dan hendak menelannya, dia ingat dan timbul lagi kesadaran beragamanya. Langsung dia berakta, 'Audzu billah! Aku adalah penuntut ilmu dan tinggal di mesjid, pantaskah aku masuk ke rumah orang dan mencuri barang yang ada di dalamnya?' Dia merasa bahwa ini adalah kesalahan besar, lalu dia menyesal dan beristighfar kepada Allah, kemudian mengembalikan lagi terong yang ada di tanganny:a. Akhirnya dia pulang kembali ke tempatnya semula. Lalu dia masuk ke dalam mesjid dan duduk mendengarkan syaikh yang saat itu sedang mengajar. Karena terlalu lapar dia hampir tidak bisa memahami apa yang dia dengar.
Ketika majlis itu selesai dan orang-orang sudah pulang, datanglah seorang perempuan yang menutup tubuhnya dengan hijab -saat itu memang tak ada perempuan kecuali dia memakai hijab-, kemudian perempuan itu berbicara dengan syaikh. Sang pemuda tidak bisa mendengar apa yang sedang dibicarakannya. Akan tetapi, secara tiba-tiba syaikh itu melihat ke sekelilingnya. Tak tampak olehnya kecuali pemuda itu, dipanggillah ia dan syaikh itu bertanya, Apakah kamu sudah menikah?', dijawab, 'Belum,'. Syaikh itu bertanya lagi, 'Apakah kau ingin menikah?'. Pemuda itu diam. Syaikh mengulangi lagi pertanyaannya, Akhirnya pemuda itu angkat bicara, 'Ya Syaikh, demi Allah! Aku tidak punya uang untuk membeli roti, bagaimana aku akan menikah?'. Syaikh itu menjawab, Wanita ini datang membawa kabar, bahwa suaminya telah meninggal dan dia adalah orang asing di kota ini. Di sini, bahkan di dunia ini dia tidak mempunyai siapa-siapa kecuali seorang paman yang sudah tua dan miskin', kata syaikh itu sambil menunjuk seorang laki-laki yang duduk di pojokan. Syaikh itu melanjutkan pembicaraannya, 'Dan wanita ini telah mewarisi rumah suaminya dan hasil penghidupannya. Sekarang, dia ingin seorang laki-laki yang mau menikahinya, agar dia tidak sendirian dan mungkin diganggu orang. Maukah kau menikah dengannya?'. Pemuda itu menjawab, 'Ya'. Kemudian syaikh bertanya kepada wanita itu, 'Apakah engkau mau menerimanya sebagai suamimu?', ia menjawab, 'Ya'. Maka syaikh itu memanggil pamannya dan mendatangkan dua saksi kemudian melangsungkan akad nikah dan membayarkan mahar untuk muridnya itu. Kemudian syaikh itu berkata, 'Peganglah tangan isterimu!' Dipeganglah tangan isterinya dan sang isteri membawanya ke rumahnya. Setelah keduanya masuk ke dalam rumah, sang isteri membuka kain yang menutupi wajahnya. Tampaklah oleh pemuda itu, bahwa dia adalah seorang wanita yang masih muda dan cantik. Rupanya pemuda itu sadar bahwa ternyata rumah itu adalah rumah yang tadi telah ia masuki.
Sang isteri bertanya, 'Kau ingin makan?', 'Ya jawabnya. Lalu dia membuka tutup panci di dapurnya. Saat melihat buah terong di dalamnya dia berkata: 'Heran, siapa yang masuk ke rumah dan menggigit terong ini?!'. Maka pemuda itu menangis dan menceritakan kisahnya. Isterinya berkomentar, 'Ini adalah buah dari sifat amanah, kau jaga kehormatanmu dan kau tinggalkan terong yang haram itu, lalu Allah berikan kepadamu rumah ini semuanya berikut pemiliknya dalam keadaan halal. Barangsiapa yang meninggalkan sesuatu ikhlas karena Allah, maka akan Allah ganti dengan yang lebih baik dari itu'.( Diceritakan oleh Syaikh Ali At-tanthawi)
SEORANG ISTERI
Di Damaskus, ada sebuah mesjid besar, namanya mesjid jami' At-Taubah. Dia adalah sebuah mesjid yang penuh keberkahan. Di dalamnya ada ketenangan dan keindahan. Sejak tujuh puluh tahun, di mesjid itu ada seorang syaikh pendidik (murabbi) yang alim dan mengamalkan ilmunya, namanya Syaikh Salim Al-Masuthi. Dia sangat fakir sehingga menjadi contoh dalam kefakirannya, dalam menahan diri dari meminta, dalam kemuliaan jiwanya dan dalam berkhidmat untuk kepentingan orang lain.
Saat itu ada pemuda yang tinggal di sebuah kamar dalam masjid. Sudah dua hari berlalu tanpa ada makanan yang dapat dimakannya. Dia tidak punya makanan ataupun uang untuk membeli makanan. Saat datang hari ketiga dia merasa bahwa dia akan mati, lalu dia berfikir tentang apa yang akan dilakukan. Menurutnya, saat ini dia telah sampai pada kondisi terpaksa yang membolehkannya memakan bangkai atau mencuri sekadar untuk bisa menegakkan tulang punggungnya. Itulah pendapatnya dalam kondisi semacam ini.
Mesjid tempat dia tinggal itu, atapnya bersambung dengan atap beberapa rumah yang ada di sampingnya. Hal ini memungkinkan orang pindah dari rumah pertama
sampai rumah terakhir dengan berjalan di atas atap rumah-rumah tersebut. Maka, dia pun naik ke atas atap masjid dan dari situ dia pindah ke rumah sebelah. Di situ dia melihat para wanita, maka dia memalingkan pandangannya dan menjauh dari rumah itu. Lalu dia lihat rumah yang di sebelahnya lagi. Keadaannya sedang sepi dan dia mencium ada bau masakan berasal dari rumah itu. Rasa laparnya bangkit, seolah-olah bau masakan tersebut magnet yang menariknya.
Rumah-rumah di masa itu banyak dibangun dengan satu lantai, maka dia melompat dari atap ke dalam serambi. Dalam sekejap dia sudah ada di dalam rumah dan dengan cepat dia masuk ke dapur lalu mengangkat tutup panci yang ada di situ. Di lihatnya sebuah terong besar dan telah dimasak. Lalu dia ambil satu, karena rasa laparnya dia tidak lagi merasakan panasnya, digigitlah terong yang ada di tangannya dan saat dia mengunyah dan hendak menelannya, dia ingat dan timbul lagi kesadaran beragamanya. Langsung dia berakta, 'Audzu billah! Aku adalah penuntut ilmu dan tinggal di mesjid, pantaskah aku masuk ke rumah orang dan mencuri barang yang ada di dalamnya?' Dia merasa bahwa ini adalah kesalahan besar, lalu dia menyesal dan beristighfar kepada Allah, kemudian mengembalikan lagi terong yang ada di tanganny:a. Akhirnya dia pulang kembali ke tempatnya semula. Lalu dia masuk ke dalam mesjid dan duduk mendengarkan syaikh yang saat itu sedang mengajar. Karena terlalu lapar dia hampir tidak bisa memahami apa yang dia dengar.
Ketika majlis itu selesai dan orang-orang sudah pulang, datanglah seorang perempuan yang menutup tubuhnya dengan hijab -saat itu memang tak ada perempuan kecuali dia memakai hijab-, kemudian perempuan itu berbicara dengan syaikh. Sang pemuda tidak bisa mendengar apa yang sedang dibicarakannya. Akan tetapi, secara tiba-tiba syaikh itu melihat ke sekelilingnya. Tak tampak olehnya kecuali pemuda itu, dipanggillah ia dan syaikh itu bertanya, Apakah kamu sudah menikah?', dijawab, 'Belum,'. Syaikh itu bertanya lagi, 'Apakah kau ingin menikah?'. Pemuda itu diam. Syaikh mengulangi lagi pertanyaannya, Akhirnya pemuda itu angkat bicara, 'Ya Syaikh, demi Allah! Aku tidak punya uang untuk membeli roti, bagaimana aku akan menikah?'. Syaikh itu menjawab, Wanita ini datang membawa kabar, bahwa suaminya telah meninggal dan dia adalah orang asing di kota ini. Di sini, bahkan di dunia ini dia tidak mempunyai siapa-siapa kecuali seorang paman yang sudah tua dan miskin', kata syaikh itu sambil menunjuk seorang laki-laki yang duduk di pojokan. Syaikh itu melanjutkan pembicaraannya, 'Dan wanita ini telah mewarisi rumah suaminya dan hasil penghidupannya. Sekarang, dia ingin seorang laki-laki yang mau menikahinya, agar dia tidak sendirian dan mungkin diganggu orang. Maukah kau menikah dengannya?'. Pemuda itu menjawab, 'Ya'. Kemudian syaikh bertanya kepada wanita itu, 'Apakah engkau mau menerimanya sebagai suamimu?', ia menjawab, 'Ya'. Maka syaikh itu memanggil pamannya dan mendatangkan dua saksi kemudian melangsungkan akad nikah dan membayarkan mahar untuk muridnya itu. Kemudian syaikh itu berkata, 'Peganglah tangan isterimu!' Dipeganglah tangan isterinya dan sang isteri membawanya ke rumahnya. Setelah keduanya masuk ke dalam rumah, sang isteri membuka kain yang menutupi wajahnya. Tampaklah oleh pemuda itu, bahwa dia adalah seorang wanita yang masih muda dan cantik. Rupanya pemuda itu sadar bahwa ternyata rumah itu adalah rumah yang tadi telah ia masuki.
Sang isteri bertanya, 'Kau ingin makan?', 'Ya jawabnya. Lalu dia membuka tutup panci di dapurnya. Saat melihat buah terong di dalamnya dia berkata: 'Heran, siapa yang masuk ke rumah dan menggigit terong ini?!'. Maka pemuda itu menangis dan menceritakan kisahnya. Isterinya berkomentar, 'Ini adalah buah dari sifat amanah, kau jaga kehormatanmu dan kau tinggalkan terong yang haram itu, lalu Allah berikan kepadamu rumah ini semuanya berikut pemiliknya dalam keadaan halal. Barangsiapa yang meninggalkan sesuatu ikhlas karena Allah, maka akan Allah ganti dengan yang lebih baik dari itu'.( Diceritakan oleh Syaikh Ali At-tanthawi)
Minggu, 25 April 2010
SEPIRING NASI
Pada malam itu, Anna bertengkar dengan
ibunya. Karena sangat marah, Anna
segera meninggalkan rumah tanpa membawa
apapun. Saat berjalan di suatu
jalan, ia baru menyadari bahwa ia sama sekali
tidak membawa uang.
Saat menyusuri sebuah jalan, ia melewati
sebuah kedai nasi dan ia mencium
harumnya aroma masakan. Ia ingin sekali
memesan sepiring nasi, tetapi ia
tidak mempunyai uang.
Pemilik kedai melihat Anna berdiri cukup lama
di depan kedainya, lalu
berkata: "Nona, apakah engkau ingin memesan
sepiring nasi?" "Ya, tetapi,
aku tidak membawa uang" jawab Anna dengan
malu-malu.
"Tidak apa-apa, aku akan mentraktirmu" jawab
si pemilik kedai. "Silakan
duduk, aku akan memasakkan nasi untukmu".
Tidak lama kemudian, pemilik kedai itu
mengantarkan sepiring nasi. Anna
se gera makan beberapa suap, kemudian air
matanya mulai berlinang. "Ada apa
nona?" tanya si pemilik kedai. "Tidak apa-apa"
aku hanya terharu jawab Anna
sambil mengeringkan air matanya.
"Bahkan, seorang yang baru kukenal pun
memberi aku sepiring nasi !
Tetapi... ibuku sendiri, setelah bertengkar
denganku, mengusirku dari rumah
dan mengatakan kepadaku agar jangan kembali
lagi. Kau, seorang yang baru
kukenal, tetapi begitu peduli denganku
dibandingkan dengan ibu kandungku
sendiri" katanya kepada pemilik kedai.
Pemilik kedai itu setelah mendengar perkataan
Anna, menarik nafas panjang
lalu berkata: "Nona, mengapa kau berpikir seperti
itu? Renungkanlah hal ini,
aku hanya memberimu sepiring nasi dan kau
begitu terharu. Ibumu telah
memasak
nasi untukmu saat kau kecil sampai saat ini,
mengapa kau tidak
berterima kasih kepadanya? Dan kau malah
bertengkar dengannya."
Anna terhenyak mendengar hal tsb. "Mengapa
aku tidak berpikir tentang hal
itu? Untuk sepiring nasi dari orang yang baru
kukenal, aku begitu
berterima kasih. Tetapi kepada ibuku yg
memasak untukku selama
bertahun-tahun, aku bahkan tidak memperlihatkan
kepedulianku kepadanya. Dan
hanya karena persoalan sepele, aku bertengkar
dengannya.
Anna segera menghabiskan nasinya, lalu ia
menguatkan dirinya untuk segera
pulang ke rumahnya. Saat berjalan ke rumah, ia
memikirkan kata-kata yg harus
diucapkan kepada ibunya.
Begitu sampai di ambang pintu rumah, ia
melihat ibunya berwajah letih dan
cemas. Ketika bertemu dengan Anna, kalimat
pertama yang keluar dari mulutnya
adalah "Anna, kau sudah pulang. Cepat
masuklah, Ibu telah menyiapkan makan
malam. Makanlah dahulu sebelum kau tidur.
Makanan akan dingin jika kau tidak
memakannya sekarang"
Pada saat itu Ana tidak dapat menahan
tangisnya. Ia pun menangis di
pelukan ibunya.
Sekali waktu, kita mungkin akan sangat
berterima kasih kepada orang lain di
sekitar kita untuk suatu pertolongan kecil yang
diberikan kepada kita.
Tetapi kepada orang yang sangat dekat dengan
kita, khususnya orang tua kita,
kita harus ingat bahwa kita berterima kasih
kepada mereka seumur hidup kita.
ibunya. Karena sangat marah, Anna
segera meninggalkan rumah tanpa membawa
apapun. Saat berjalan di suatu
jalan, ia baru menyadari bahwa ia sama sekali
tidak membawa uang.
Saat menyusuri sebuah jalan, ia melewati
sebuah kedai nasi dan ia mencium
harumnya aroma masakan. Ia ingin sekali
memesan sepiring nasi, tetapi ia
tidak mempunyai uang.
Pemilik kedai melihat Anna berdiri cukup lama
di depan kedainya, lalu
berkata: "Nona, apakah engkau ingin memesan
sepiring nasi?" "Ya, tetapi,
aku tidak membawa uang" jawab Anna dengan
malu-malu.
"Tidak apa-apa, aku akan mentraktirmu" jawab
si pemilik kedai. "Silakan
duduk, aku akan memasakkan nasi untukmu".
Tidak lama kemudian, pemilik kedai itu
mengantarkan sepiring nasi. Anna
se gera makan beberapa suap, kemudian air
matanya mulai berlinang. "Ada apa
nona?" tanya si pemilik kedai. "Tidak apa-apa"
aku hanya terharu jawab Anna
sambil mengeringkan air matanya.
"Bahkan, seorang yang baru kukenal pun
memberi aku sepiring nasi !
Tetapi... ibuku sendiri, setelah bertengkar
denganku, mengusirku dari rumah
dan mengatakan kepadaku agar jangan kembali
lagi. Kau, seorang yang baru
kukenal, tetapi begitu peduli denganku
dibandingkan dengan ibu kandungku
sendiri" katanya kepada pemilik kedai.
Pemilik kedai itu setelah mendengar perkataan
Anna, menarik nafas panjang
lalu berkata: "Nona, mengapa kau berpikir seperti
itu? Renungkanlah hal ini,
aku hanya memberimu sepiring nasi dan kau
begitu terharu. Ibumu telah
memasak
nasi untukmu saat kau kecil sampai saat ini,
mengapa kau tidak
berterima kasih kepadanya? Dan kau malah
bertengkar dengannya."
Anna terhenyak mendengar hal tsb. "Mengapa
aku tidak berpikir tentang hal
itu? Untuk sepiring nasi dari orang yang baru
kukenal, aku begitu
berterima kasih. Tetapi kepada ibuku yg
memasak untukku selama
bertahun-tahun, aku bahkan tidak memperlihatkan
kepedulianku kepadanya. Dan
hanya karena persoalan sepele, aku bertengkar
dengannya.
Anna segera menghabiskan nasinya, lalu ia
menguatkan dirinya untuk segera
pulang ke rumahnya. Saat berjalan ke rumah, ia
memikirkan kata-kata yg harus
diucapkan kepada ibunya.
Begitu sampai di ambang pintu rumah, ia
melihat ibunya berwajah letih dan
cemas. Ketika bertemu dengan Anna, kalimat
pertama yang keluar dari mulutnya
adalah "Anna, kau sudah pulang. Cepat
masuklah, Ibu telah menyiapkan makan
malam. Makanlah dahulu sebelum kau tidur.
Makanan akan dingin jika kau tidak
memakannya sekarang"
Pada saat itu Ana tidak dapat menahan
tangisnya. Ia pun menangis di
pelukan ibunya.
Sekali waktu, kita mungkin akan sangat
berterima kasih kepada orang lain di
sekitar kita untuk suatu pertolongan kecil yang
diberikan kepada kita.
Tetapi kepada orang yang sangat dekat dengan
kita, khususnya orang tua kita,
kita harus ingat bahwa kita berterima kasih
kepada mereka seumur hidup kita.
Minggu, 04 April 2010
MENDUSTAKAN NI'MAT ALLOH
Oleh H.Usep Romli HM
Untuk membahagiakan dan menyejahterakan kehidupan manusia di muka bumi, Allah SWT menurunkan rahmat dan nikmat tidak terkira. Baik yang berifat material, seperti mineral, air, flora, fauna, dan sebagainya, maupun yang bersifat immaterial, seperti kesehatan, kesegaran, harapan, cita-cita, dan banyak lagi yang menyatu dengan tubuh, lingkungan sosial, lingkungan alam dan sebagainya.
Semua itu tidak akan dapat dihitung satu persatu. Bahkan Allah SWT menantang manusia untuk menghitung segala nikmat anugrahNya, namun tidak akan mampu menghitungnya (Q.s.Ibrahim : 34). Sedangkan di dalam Q.s.ar Rahman terdapat 30 kali pertanyaan, tentang nikmat karunia Allah SWT apalagi yang manusia dustakan. Dan dalam Q.s.al Infithar : 6-8, Allah SWT mempertanyakan kepada manusia, apa yang telah memperdayakan mereka sehingga berbuat durhaka terhadap Allah Yang Maha Pemurah ? Yang telah menciptakan manusia, menyempurnakan dan menyusun bentuk serta fungsi tubuh yang seimbang.
Memang hanya sedikit manusia yang bersyukur (Q.s.al Muluk : 23). Selebihnya menolak dan membohongkan nikmat-nikmat tersebut, dengan berbagai sikap dan tindakan yang ingkar dari ketakwaan kepada Allah SWT. Tidak melaksanakan segala perintahNya, sekaligus melanggar segala laranganNya.
Padahal bagi individu-individu takwa (muttaqien), Allah SWT menyediakan jaminan kemudahan, membuka jalan ke luar dari berbagai kesulitan, memberi rizki tanpa hitungan, serta mencukupi segala kebutuhannya (Q.s.ath Thalaq : 2-3). Apabila para muttaqien tersebut, membentuk komunitas bangsa, jaminan itu diperluas dengan dibukakannya pintu berkah dari langit dan bumi (Q.s.al A'raaf : 96). Dari langit tercurah hujan yang menyuburkan tanah, tanaman dan ternak yang bermanfaat bagi manusia. Dari bumi muncul tumbuh-tumbuhan, minyak, serta zat-zat berharga lainnya yang juga memakmurkan sosial-ekonomi bangsa dan negara.
Tapi mengapa sekarang, dari langit turun hujan pembawa banjir, longsor, pemyakit serta bencana lain ? Dari bumi muncul gempa, lahar, lumpur panas dan aneka macam sumber derita ? Karena pada ayat itu juga, dinyatakan, manusia mendustakan nikmat Allah SWT, sehingga kepada mereka dikenakan siksa sesuai dengan perbuatannya itu.
Secara garis besar, perbuatan manusia yang melanggar larangan Allah SWT, mengandung kebohongan atas nikmat karuniaNya, dapat dirangkum dalam beberapa jenis yang kini sudah dianggap rutin dan biasa. Antara lain :
1.Pembunuhan.
Menghilangkan nyawa orang lain, nyaris sudah tidak dianggap dosa besar. Mungkin karena hukuman di dunia terlalu ringan. Serta tidak mengetahui hukuman di akhirat kelak. Allah SWT melarang keras seseorang melakukan pembunuhan terhadap orang lain. Pelaku pembunuhan diancam hukuman masuk neraka jahannam. Kekal di dalamnya, ditambah kemurkaan dan kutukanNya, serta tambahan azab yang besar (Q.s.an Nisa : 93).
2. Meninggalkan shalat.
Perbedaan antara hamba beriman dan yang musyrik (menyekutukan Allah) adalah menggalkan shalat (Hadits sahih riwayat Muslim). Generasi yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsu, akan menemui kesesatan (Q.s. Maryam : 59).
3. Zina.
Allah SWT melarang mendekati zina, karena merupakan perbuatan keji dan jalan terburuk (Q.s.Isra : 32). Dampak dari perzinaan sangat banyak. Selain menimbulkan penyakit menular di antara para pelaku dan orang lain yang tidak berdosa, seperti HIV/AIDS, zina juga merusak tatanan genetika dan tatanan hidup manusia beradab.
4.Berbuat zalim.
Pribadi-pribadi yang berbuat zalim kepada sesama mahluk -- manusia, hewan, tumbuhan, alam sekitar -- akan mendapat azab yang amat pedih (Q.s.asy Syura : 42). Apabila pribadi-pribadi zalim itu menjadi komunitas bangsa dan negara, akan menjadi sumber kehancuran bangsa dan negara tersebut. Allah SWT akan menghancurkan suatu negara, jika penduduknya berlaku zalim. Zalim terhadap diri masing-masing, kepada sesama mahluk, dan kepada Allah SWT.
5.Korupsi.
Siapapun yang korup, berkhianat terhadap hak milik umat, pada hari Kiamat akan datang dengan membawa segala apa yang ia korupsi (Q.s.Ali Imran : 16). Nabi Muhammad Saw, menyatakan, Allah SWT tidak menerima shalat seseorang tanpa wudlu, dan bukanlah sadaqah jika hartanya (yang disedekahkan) dari hasil korupsi (hadits sahih riwayat Imam Muslim). Hadits lain meriwayatkan, Nabi Saw menolak menyalatkan mayat seorang korban Perang Khaibar, karena telah melakukan korupsi. Ketika diperiksa, ternyata ia menyembunyikan batu marjan senilai dua dirham (riwayat Abu Daud).
6.Kesaksian palsu.
Pada masa kini, kesaksian palsu berikut segala bentuk turunannya (sumpah palsu, rekayasa perkara, pembentukan opini publik untuk tujuan tertentu,dlsb) sudah sangat lumrah terjadi di mana-mana, di segala tempat, waktu dan tingkatan. Padahal kesaksian palsu setara dengan menyekutukan Allah SWT (hadits riwayat Turmudzi). Allah SWT melarang mendekati berhala-berhala yang najis, dan perkataan dusta (Q.s. al Hajj : 30). Orang yang berlebih-lebihan (dalam berkata) dan pembual, tidak akan mendapat petunjuk (Q.s.al Mu'min : 28)
7.Bunuh diri.
Berbagai konflik dan tekanan yang menimpa seseorang, membuat nekad menghabisi nyawa sendiri. Bunuh diri. Seolah-olah bunuh diri menjadi jalan keluar terbaik untuk mengatasi problema kehidupan. Padahal setelah kematiannya, ia akan menghadapi masalah lain yang lebih berat. Masuk neraka (Q.s.an Nisa : 29-31). Menurut sebuah hadits, yang bunuh diri dengan sesuatu, maka pada Hari Kiamat, Allah SWT akan mengazabnya dengan alat yang ia gunakan untuk bunuh diri (sahih Bukhari dan Muslim).
8.Mengurangi ukuran.
Ancaman neraka Wail ditimpakan kepada orang-orang yang curang dalam berdagang, dengan memalsu ukuran. Memperbesar ketika membeli, dan memperkecil ketika menjual. Seolah-olah merasa aman-aman saja dari pertanggungjawaban di akhirat kelak (Q.s.al Muthaffifin : 1-6). Umat Nabi Syu'aib di Madyan dan Aikah mengalami kehancuran, karena kebiasaan mereka mempermainkan ukuran (Q.s.al A’raaf : 88-91)
Banyak di antara kaum Muslimin melakukan perbuatan-perbuatan di atas, pertama-tama karena kekurangan pengetahuan terhadap ajaran dan hukum Islam. Sehingga menganggap segala perbuatan hanya akan selesai selama hidup di dunia saja. Tanpa perhitungan di akhirat. Untuk mengatasinya, perlu pembelajaran terus-menerus, di samping memperkuat keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT.***
Penulis, guru mengaji di pedesaan Cibiuk, Garut.
Pembimbing Haji&Umroh Megacitra Kota Bandung
Tulisan ini telah dimuat di “Pikiran Rakyat” Nopember
Untuk membahagiakan dan menyejahterakan kehidupan manusia di muka bumi, Allah SWT menurunkan rahmat dan nikmat tidak terkira. Baik yang berifat material, seperti mineral, air, flora, fauna, dan sebagainya, maupun yang bersifat immaterial, seperti kesehatan, kesegaran, harapan, cita-cita, dan banyak lagi yang menyatu dengan tubuh, lingkungan sosial, lingkungan alam dan sebagainya.
Semua itu tidak akan dapat dihitung satu persatu. Bahkan Allah SWT menantang manusia untuk menghitung segala nikmat anugrahNya, namun tidak akan mampu menghitungnya (Q.s.Ibrahim : 34). Sedangkan di dalam Q.s.ar Rahman terdapat 30 kali pertanyaan, tentang nikmat karunia Allah SWT apalagi yang manusia dustakan. Dan dalam Q.s.al Infithar : 6-8, Allah SWT mempertanyakan kepada manusia, apa yang telah memperdayakan mereka sehingga berbuat durhaka terhadap Allah Yang Maha Pemurah ? Yang telah menciptakan manusia, menyempurnakan dan menyusun bentuk serta fungsi tubuh yang seimbang.
Memang hanya sedikit manusia yang bersyukur (Q.s.al Muluk : 23). Selebihnya menolak dan membohongkan nikmat-nikmat tersebut, dengan berbagai sikap dan tindakan yang ingkar dari ketakwaan kepada Allah SWT. Tidak melaksanakan segala perintahNya, sekaligus melanggar segala laranganNya.
Padahal bagi individu-individu takwa (muttaqien), Allah SWT menyediakan jaminan kemudahan, membuka jalan ke luar dari berbagai kesulitan, memberi rizki tanpa hitungan, serta mencukupi segala kebutuhannya (Q.s.ath Thalaq : 2-3). Apabila para muttaqien tersebut, membentuk komunitas bangsa, jaminan itu diperluas dengan dibukakannya pintu berkah dari langit dan bumi (Q.s.al A'raaf : 96). Dari langit tercurah hujan yang menyuburkan tanah, tanaman dan ternak yang bermanfaat bagi manusia. Dari bumi muncul tumbuh-tumbuhan, minyak, serta zat-zat berharga lainnya yang juga memakmurkan sosial-ekonomi bangsa dan negara.
Tapi mengapa sekarang, dari langit turun hujan pembawa banjir, longsor, pemyakit serta bencana lain ? Dari bumi muncul gempa, lahar, lumpur panas dan aneka macam sumber derita ? Karena pada ayat itu juga, dinyatakan, manusia mendustakan nikmat Allah SWT, sehingga kepada mereka dikenakan siksa sesuai dengan perbuatannya itu.
Secara garis besar, perbuatan manusia yang melanggar larangan Allah SWT, mengandung kebohongan atas nikmat karuniaNya, dapat dirangkum dalam beberapa jenis yang kini sudah dianggap rutin dan biasa. Antara lain :
1.Pembunuhan.
Menghilangkan nyawa orang lain, nyaris sudah tidak dianggap dosa besar. Mungkin karena hukuman di dunia terlalu ringan. Serta tidak mengetahui hukuman di akhirat kelak. Allah SWT melarang keras seseorang melakukan pembunuhan terhadap orang lain. Pelaku pembunuhan diancam hukuman masuk neraka jahannam. Kekal di dalamnya, ditambah kemurkaan dan kutukanNya, serta tambahan azab yang besar (Q.s.an Nisa : 93).
2. Meninggalkan shalat.
Perbedaan antara hamba beriman dan yang musyrik (menyekutukan Allah) adalah menggalkan shalat (Hadits sahih riwayat Muslim). Generasi yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsu, akan menemui kesesatan (Q.s. Maryam : 59).
3. Zina.
Allah SWT melarang mendekati zina, karena merupakan perbuatan keji dan jalan terburuk (Q.s.Isra : 32). Dampak dari perzinaan sangat banyak. Selain menimbulkan penyakit menular di antara para pelaku dan orang lain yang tidak berdosa, seperti HIV/AIDS, zina juga merusak tatanan genetika dan tatanan hidup manusia beradab.
4.Berbuat zalim.
Pribadi-pribadi yang berbuat zalim kepada sesama mahluk -- manusia, hewan, tumbuhan, alam sekitar -- akan mendapat azab yang amat pedih (Q.s.asy Syura : 42). Apabila pribadi-pribadi zalim itu menjadi komunitas bangsa dan negara, akan menjadi sumber kehancuran bangsa dan negara tersebut. Allah SWT akan menghancurkan suatu negara, jika penduduknya berlaku zalim. Zalim terhadap diri masing-masing, kepada sesama mahluk, dan kepada Allah SWT.
5.Korupsi.
Siapapun yang korup, berkhianat terhadap hak milik umat, pada hari Kiamat akan datang dengan membawa segala apa yang ia korupsi (Q.s.Ali Imran : 16). Nabi Muhammad Saw, menyatakan, Allah SWT tidak menerima shalat seseorang tanpa wudlu, dan bukanlah sadaqah jika hartanya (yang disedekahkan) dari hasil korupsi (hadits sahih riwayat Imam Muslim). Hadits lain meriwayatkan, Nabi Saw menolak menyalatkan mayat seorang korban Perang Khaibar, karena telah melakukan korupsi. Ketika diperiksa, ternyata ia menyembunyikan batu marjan senilai dua dirham (riwayat Abu Daud).
6.Kesaksian palsu.
Pada masa kini, kesaksian palsu berikut segala bentuk turunannya (sumpah palsu, rekayasa perkara, pembentukan opini publik untuk tujuan tertentu,dlsb) sudah sangat lumrah terjadi di mana-mana, di segala tempat, waktu dan tingkatan. Padahal kesaksian palsu setara dengan menyekutukan Allah SWT (hadits riwayat Turmudzi). Allah SWT melarang mendekati berhala-berhala yang najis, dan perkataan dusta (Q.s. al Hajj : 30). Orang yang berlebih-lebihan (dalam berkata) dan pembual, tidak akan mendapat petunjuk (Q.s.al Mu'min : 28)
7.Bunuh diri.
Berbagai konflik dan tekanan yang menimpa seseorang, membuat nekad menghabisi nyawa sendiri. Bunuh diri. Seolah-olah bunuh diri menjadi jalan keluar terbaik untuk mengatasi problema kehidupan. Padahal setelah kematiannya, ia akan menghadapi masalah lain yang lebih berat. Masuk neraka (Q.s.an Nisa : 29-31). Menurut sebuah hadits, yang bunuh diri dengan sesuatu, maka pada Hari Kiamat, Allah SWT akan mengazabnya dengan alat yang ia gunakan untuk bunuh diri (sahih Bukhari dan Muslim).
8.Mengurangi ukuran.
Ancaman neraka Wail ditimpakan kepada orang-orang yang curang dalam berdagang, dengan memalsu ukuran. Memperbesar ketika membeli, dan memperkecil ketika menjual. Seolah-olah merasa aman-aman saja dari pertanggungjawaban di akhirat kelak (Q.s.al Muthaffifin : 1-6). Umat Nabi Syu'aib di Madyan dan Aikah mengalami kehancuran, karena kebiasaan mereka mempermainkan ukuran (Q.s.al A’raaf : 88-91)
Banyak di antara kaum Muslimin melakukan perbuatan-perbuatan di atas, pertama-tama karena kekurangan pengetahuan terhadap ajaran dan hukum Islam. Sehingga menganggap segala perbuatan hanya akan selesai selama hidup di dunia saja. Tanpa perhitungan di akhirat. Untuk mengatasinya, perlu pembelajaran terus-menerus, di samping memperkuat keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT.***
Penulis, guru mengaji di pedesaan Cibiuk, Garut.
Pembimbing Haji&Umroh Megacitra Kota Bandung
Tulisan ini telah dimuat di “Pikiran Rakyat” Nopember
Andaikata Lebih Panjang Lagi
In ah sang tum ah sang tum li anfusikum wa in asa’ tum falaHa
"kalau kamu berbuat baik, sebetulnya kamu berbuat baik untuk dirimu. Dan jika kamu berbuat buruk, berarti kamu telah berbuat buruk atas dirimu pula." (surat Al Isra':7)
Cerita ini diambil pada zaman Rossululloh SAW;
Seperti yang telah biasa dilakukannya ketika salah satu sahabatnya meninggal dunia Rosulullah mengantar jenazahnya sampai ke kuburan. Dan pada saat pulangnya disempatkannya singgah untuk menghibur dan menenangkan keluarga almarhum supaya tetap bersabar dan tawakal menerima musibah itu.
Kemudian Rosulullah berkata,"tidakkah almarhum mengucapkan wasiat sebelum wafatnya?" Istrinya menjawab, saya mendengar dia mengatakan sesuatu diantara dengkur nafasnya yang tersengal-sengal menjelang ajal" "Apa yang di katakannya?" "saya tidak tahu, ya Rosulullah, apakah ucapannya itu sekedar rintihan sebelum mati, ataukah pekikan pedih karena dasyatnya sakaratul maut. Cuma, ucapannya memang sulit dipahami lantaran merupakan kalimat yang terpotong-potong." "Bagaimana bunyinya?" desak Rosulullah. Istri yang setia itu menjawab, "suami saya mengatakan "Andaikata lebih panjang lagi....andaikata yang masih baru.... andaikata semuanya...."
hanya itulah yang tertangkap sehingga kami bingung dibuatnya. Apakah perkataan-perkataan itu igauan dalam keadaan tidak sadar,ataukah pesan-pesan yang tidak selesai?" Rosulullah tersenyum."sungguh yang diucapkan suamimu itu tidak keliru,"ujarnya.
Kisahnya begini. pada suatu hari ia sedang bergegas akan ke masjid untuk melaksanakan shalat jum'at. Ditengah jalan ia berjumpa dengan orang buta yang bertujuan sama. Si buta itu tersaruk-saruk karena tidak ada yang menuntun. Maka suamimu yang membimbingnya hingga tiba di masjid. Tatkala hendak menghembuskan nafas penghabisan, ia menyaksikan pahala amal sholehnya itu, lalu iapun berkata "andaikan lebih panjang lagi". Maksudnya, andaikata jalan ke masjid itu lebih panjang lagi, pasti pahalanyalebih besar pula.
Ucapan lainnya ya Rosulullah?"tanya sang istri mulai tertarik. Nabi menjawab,"adapun ucapannya yang kedua dikatakannya tatkala, ia melihat hasil perbuatannya yang lain. Sebab pada hari berikutnya, waktu ia pergi ke masjid pagi-pagi, sedangkan cuaca dingin sekali, ditepi jalan ia melihat seorang lelaki tua yang tengah duduk menggigil, hampir mati kedinginan. Kebetulan suamimu membawa sebuah mantel baru, selain yang dipakainya. Maka ia mencopot mantelnya yang lama, diberikannya kepada lelaki tersebut. Dan mantelnya yang baru lalu dikenakannya. Menjelang saat-saat terakhirnya, suamimu melihat balasan amal kebajikannya itu sehingga ia pun menyesal dan berkata, "Coba andaikan yang masih yang kuberikan kepadanya dan bukan mantelku yang lama, pasti pahalaku jauh lebih besar lagi".Itulah yang dikatakan suamimu selengkapnya.
Kemudian, ucapannya yang ketiga, apa maksudnya, ya Rosulullah?" tanya sang istri makin ingin tahu. Dengan sabar Nabi menjelaskan,"ingatkah kamu pada suatu ketika suamimu datang dalam keadaan sangat lapar dan meminta disediakan makanan? Engkau menghidangkan sepotong roti yang telah dicampur dengan daging. Namun, tatkala hendak dimakannya, tiba- tiba seorang musyafir mengetuk pintu dan meminta makanan. Suamimu lantas membagi rotinya menjadi dua potong, yang sebelah diberikan kepada musyafir itu. Dengan demikian, pada waktu suamimu akan nazak, ia menyaksikan betapa besarnya pahala dari amalannya itu. Karenanya, ia pun menyesal dan berkata ' kalau aku tahu begini hasilnya,
musyafir itu tidak hanya kuberi separoh. Sebab andaikata semuanya kuberikan kepadanya, sudah pasti ganjaranku akan berlipat ganda. Memang begitulah keadilan Tuhan. Pada hakekatnya, apabila kita berbuat baik, sebetulnya kita juga yang beruntung, bukan orang lain.
Lantaran segala tindak-tanduk kita tidak lepas dari penilaian Allah. Sama halnya jika kita berbuat buruk. Akibatnya juga akan menimpa kita sendiri.Karena itu Allah mengingatkan: "kalau kamu berbuat baik, sebetulnya kamu berbuat baik untuk dirimu. Dan jika kamu berbuat buruk, berarti kamu telah berbuat buruk atas dirimu pula." (surat Al Isra':7)
"kalau kamu berbuat baik, sebetulnya kamu berbuat baik untuk dirimu. Dan jika kamu berbuat buruk, berarti kamu telah berbuat buruk atas dirimu pula." (surat Al Isra':7)
Cerita ini diambil pada zaman Rossululloh SAW;
Seperti yang telah biasa dilakukannya ketika salah satu sahabatnya meninggal dunia Rosulullah mengantar jenazahnya sampai ke kuburan. Dan pada saat pulangnya disempatkannya singgah untuk menghibur dan menenangkan keluarga almarhum supaya tetap bersabar dan tawakal menerima musibah itu.
Kemudian Rosulullah berkata,"tidakkah almarhum mengucapkan wasiat sebelum wafatnya?" Istrinya menjawab, saya mendengar dia mengatakan sesuatu diantara dengkur nafasnya yang tersengal-sengal menjelang ajal" "Apa yang di katakannya?" "saya tidak tahu, ya Rosulullah, apakah ucapannya itu sekedar rintihan sebelum mati, ataukah pekikan pedih karena dasyatnya sakaratul maut. Cuma, ucapannya memang sulit dipahami lantaran merupakan kalimat yang terpotong-potong." "Bagaimana bunyinya?" desak Rosulullah. Istri yang setia itu menjawab, "suami saya mengatakan "Andaikata lebih panjang lagi....andaikata yang masih baru.... andaikata semuanya...."
hanya itulah yang tertangkap sehingga kami bingung dibuatnya. Apakah perkataan-perkataan itu igauan dalam keadaan tidak sadar,ataukah pesan-pesan yang tidak selesai?" Rosulullah tersenyum."sungguh yang diucapkan suamimu itu tidak keliru,"ujarnya.
Kisahnya begini. pada suatu hari ia sedang bergegas akan ke masjid untuk melaksanakan shalat jum'at. Ditengah jalan ia berjumpa dengan orang buta yang bertujuan sama. Si buta itu tersaruk-saruk karena tidak ada yang menuntun. Maka suamimu yang membimbingnya hingga tiba di masjid. Tatkala hendak menghembuskan nafas penghabisan, ia menyaksikan pahala amal sholehnya itu, lalu iapun berkata "andaikan lebih panjang lagi". Maksudnya, andaikata jalan ke masjid itu lebih panjang lagi, pasti pahalanyalebih besar pula.
Ucapan lainnya ya Rosulullah?"tanya sang istri mulai tertarik. Nabi menjawab,"adapun ucapannya yang kedua dikatakannya tatkala, ia melihat hasil perbuatannya yang lain. Sebab pada hari berikutnya, waktu ia pergi ke masjid pagi-pagi, sedangkan cuaca dingin sekali, ditepi jalan ia melihat seorang lelaki tua yang tengah duduk menggigil, hampir mati kedinginan. Kebetulan suamimu membawa sebuah mantel baru, selain yang dipakainya. Maka ia mencopot mantelnya yang lama, diberikannya kepada lelaki tersebut. Dan mantelnya yang baru lalu dikenakannya. Menjelang saat-saat terakhirnya, suamimu melihat balasan amal kebajikannya itu sehingga ia pun menyesal dan berkata, "Coba andaikan yang masih yang kuberikan kepadanya dan bukan mantelku yang lama, pasti pahalaku jauh lebih besar lagi".Itulah yang dikatakan suamimu selengkapnya.
Kemudian, ucapannya yang ketiga, apa maksudnya, ya Rosulullah?" tanya sang istri makin ingin tahu. Dengan sabar Nabi menjelaskan,"ingatkah kamu pada suatu ketika suamimu datang dalam keadaan sangat lapar dan meminta disediakan makanan? Engkau menghidangkan sepotong roti yang telah dicampur dengan daging. Namun, tatkala hendak dimakannya, tiba- tiba seorang musyafir mengetuk pintu dan meminta makanan. Suamimu lantas membagi rotinya menjadi dua potong, yang sebelah diberikan kepada musyafir itu. Dengan demikian, pada waktu suamimu akan nazak, ia menyaksikan betapa besarnya pahala dari amalannya itu. Karenanya, ia pun menyesal dan berkata ' kalau aku tahu begini hasilnya,
musyafir itu tidak hanya kuberi separoh. Sebab andaikata semuanya kuberikan kepadanya, sudah pasti ganjaranku akan berlipat ganda. Memang begitulah keadilan Tuhan. Pada hakekatnya, apabila kita berbuat baik, sebetulnya kita juga yang beruntung, bukan orang lain.
Lantaran segala tindak-tanduk kita tidak lepas dari penilaian Allah. Sama halnya jika kita berbuat buruk. Akibatnya juga akan menimpa kita sendiri.Karena itu Allah mengingatkan: "kalau kamu berbuat baik, sebetulnya kamu berbuat baik untuk dirimu. Dan jika kamu berbuat buruk, berarti kamu telah berbuat buruk atas dirimu pula." (surat Al Isra':7)
SAKIT MATA SEMBUH DENGAN WUDLU
Suatu hari Junaid Al-Banghdadi sakit mata. Ia diberitahu oleh seorang tabib, jika ingin cepat sembuh jangan sampai matanya terkena air.
Ketika tabib itu pergi, ia nekad berwudhu membasuh mukanya untuk sholat kemudian tidur. Anehnya, sakit matanya malah menjadi sembuh. Saat itu terdengar suara "Junaid menjadi sembuh matanya kerana ia lebih ridha kepada-Ku". Seandainya ahli neraka minta kepada-Ku dengan semangat Junaid niscaya Aku luluskan permintaannya." Kata suara itu.
Tabib yang melihat mata Junaid sembuh itu menjadi keheranan, "Apa yang telah engkau lakukan?"
"Aku telah membasuh muka dan mataku kemudian sholat", ujarnya."
Tabib itu memang beragama Nashrani, dan setelah melihat peristiwa itu, dia beriman. "Itu obat dari Tuhan yang menciptakan sakit itu. Dia pulalah yang menciptakan obatnya. Aku ini sebenarnya yang sakit mata hatiku, dan Junaidlah tabibnya."
Ketika tabib itu pergi, ia nekad berwudhu membasuh mukanya untuk sholat kemudian tidur. Anehnya, sakit matanya malah menjadi sembuh. Saat itu terdengar suara "Junaid menjadi sembuh matanya kerana ia lebih ridha kepada-Ku". Seandainya ahli neraka minta kepada-Ku dengan semangat Junaid niscaya Aku luluskan permintaannya." Kata suara itu.
Tabib yang melihat mata Junaid sembuh itu menjadi keheranan, "Apa yang telah engkau lakukan?"
"Aku telah membasuh muka dan mataku kemudian sholat", ujarnya."
Tabib itu memang beragama Nashrani, dan setelah melihat peristiwa itu, dia beriman. "Itu obat dari Tuhan yang menciptakan sakit itu. Dia pulalah yang menciptakan obatnya. Aku ini sebenarnya yang sakit mata hatiku, dan Junaidlah tabibnya."
Sabtu, 03 April 2010
Riya dan Sum’ah
Diantara penyakit hati yang tidak hanya menimpa orang umum tetapi juga kader dakwah adalah riya dan sum’ah. Melalui rubrik tazikyatun nafs ini, Bersama Dakwah mencoba mengetengahkan pembahasan riya dan sum’ah mulai dari definisi riya dan sum’ah, faktor penyebab, dampak buruk, fenomena riya dan sum’ah, sampai kiat mengatasinya. Insya Allah.
Definisi Riya secara Etimologi
Kata riya berasal dari kata ru’yah, yang artinya menampakkan. Dikatakan arar-rajulu, berarti seseorang menampakkan amal shalih agar dilihat oleh manusia. Makna ini sejalan dengan firman Allah SWT:
“…Orang-orang yang berbuat riya dan enggan menolong dengan barang berguna.” (QS. Al-Maa’uun : 6-7)
“… dengan rasa angkuh dan dengan maksud riya kepada manusia.” (QS. Al-Anfal : 47)
Definisi Riya secara Terminologi
Pengertian riya secara istilah/terminologi adalah sikap seorang muslim yang menampakkan amal shalihnya kepada manusia lain secara langsung agar dirinya mendapatkan kedudukan dan/atau penghargaan dari mereka, atau mengharapkan keuntungan materi.
Pengertian Sum’ah secara Etimologi
Kata sum’ah berasal dari kata samma’a (memperdengarkan). Kalimat samma’an naasa bi ‘amalihi digunakan jika seseorang menampakkan amalnya kepada manusia yang semula tidak mengetahuinya.
Definisi Sum’ah secara Terminologi
Pengertian sum’ah secara istilah/terminologi adalah sikap seorang muslim yang membicarakan atau memberitahukan amal shalihnya -yang sebelumnya tidak diketahui atau tersembunyi- kepada manusia lain agar dirinya mendapatkan kedudukan dan/atau penghargaan dari mereka, atau mengharapkan keuntungan materi.
Dalam Fathul Bari, Ibnu Hajar Al-Asqalani mengetengahkan pendapat Izzudin bin Abdussalam yang membedakan antara riya dan sum’ah. Bahwa riya adalah sikap seseorang yang beramal bukan untuk Allah; sedangkan sum’ah adalah sikap seseorang yang menyembunyikan amalnya untuk Allah, namun ia bicarakan hal tersebut kepada manusia. Sehingga, menurutnya semua riya itu tercela, sedangkan sum’ah adalah amal terpuji jika ia melakukannya karena Allah dan untuk memperoleh ridha-Nya, dan tercela jika dia membicarakan amalnya di hadapan manusia.
Dalam Al-Qur’an Allah telah memperingatkan tentang sum’ah dan riya ini:
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia…” (QS. Al-Baqarah : 264)
Rasulullah SAW juga memperingatkan dalam haditsnya:
Siapa yang berlaku sum’ah maka akan diperlakukan dengan sum’ah oleh Allah dan siapa yang berlaku riya maka akan dibalas dengan riya. (HR. Bukhari)
Diperlakukan dengan sum’ah oleh Allah maksudnya adalah diumumkan aib-aibnya di akhirat. Sedangkan dibalas dengan riya artinya diperlihatkan pahala amalnya, namun tidak diberi pahala kepadanya. Na’udzubillah min dzalik.
Dalam hadits yang lain, Rasulullah menjelaskan tentang kekhawatirannya atas umat ini terhadap riya yang akan menimpa mereka. Riya yang tidak lain merupakan syirik kecil.
“Sesungguhnya yang paling aku takutkan atas kalian adalah syirik kecil.” Para sahabat bertanya, “Apa yang dimaksud dengan syirik kecil itu, wahai Rasulullah?” Rasulullah menjawab, “Riya.” “Allah akan berfirman pada hari kiamat nanti ketika Ia memberi ganjaran amal perbuatan hamba-Nya, ‘Pergilah kalian kepada orang yang kalian berlaku riya terhadapnya.’ Lihat Apakah kalian memperoleh balasan dari mereka?” Kemudian Rasulullah mendengar seseorang membaca dan melantunkan dzikir dengan suara yang keras. Lalu beliau bersabda, “Sesungguhnya dia amat taat kepada Allah.” Orang tersebut ternyata Miqdad bin Aswad. (HR. Ahmad)
Demikianlah riya dan sum’ah akan membawa petaka di akhirat. Namun, tidak semua yang diperdengarkan berarti sum’ah. Dalam hal ini suara dzikir Miqdad bin Aswad tidak dikategorikan demikian. Karena riya dan sum’ah adalah penyakit hati, maka perbuatan fisik yang sama bukan berarti berangkat dari hati/niat yang sama. Bersambung ke Riya dan Sum'ah (2)
Definisi Riya secara Etimologi
Kata riya berasal dari kata ru’yah, yang artinya menampakkan. Dikatakan arar-rajulu, berarti seseorang menampakkan amal shalih agar dilihat oleh manusia. Makna ini sejalan dengan firman Allah SWT:
“…Orang-orang yang berbuat riya dan enggan menolong dengan barang berguna.” (QS. Al-Maa’uun : 6-7)
“… dengan rasa angkuh dan dengan maksud riya kepada manusia.” (QS. Al-Anfal : 47)
Definisi Riya secara Terminologi
Pengertian riya secara istilah/terminologi adalah sikap seorang muslim yang menampakkan amal shalihnya kepada manusia lain secara langsung agar dirinya mendapatkan kedudukan dan/atau penghargaan dari mereka, atau mengharapkan keuntungan materi.
Pengertian Sum’ah secara Etimologi
Kata sum’ah berasal dari kata samma’a (memperdengarkan). Kalimat samma’an naasa bi ‘amalihi digunakan jika seseorang menampakkan amalnya kepada manusia yang semula tidak mengetahuinya.
Definisi Sum’ah secara Terminologi
Pengertian sum’ah secara istilah/terminologi adalah sikap seorang muslim yang membicarakan atau memberitahukan amal shalihnya -yang sebelumnya tidak diketahui atau tersembunyi- kepada manusia lain agar dirinya mendapatkan kedudukan dan/atau penghargaan dari mereka, atau mengharapkan keuntungan materi.
Dalam Fathul Bari, Ibnu Hajar Al-Asqalani mengetengahkan pendapat Izzudin bin Abdussalam yang membedakan antara riya dan sum’ah. Bahwa riya adalah sikap seseorang yang beramal bukan untuk Allah; sedangkan sum’ah adalah sikap seseorang yang menyembunyikan amalnya untuk Allah, namun ia bicarakan hal tersebut kepada manusia. Sehingga, menurutnya semua riya itu tercela, sedangkan sum’ah adalah amal terpuji jika ia melakukannya karena Allah dan untuk memperoleh ridha-Nya, dan tercela jika dia membicarakan amalnya di hadapan manusia.
Dalam Al-Qur’an Allah telah memperingatkan tentang sum’ah dan riya ini:
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia…” (QS. Al-Baqarah : 264)
Rasulullah SAW juga memperingatkan dalam haditsnya:
Siapa yang berlaku sum’ah maka akan diperlakukan dengan sum’ah oleh Allah dan siapa yang berlaku riya maka akan dibalas dengan riya. (HR. Bukhari)
Diperlakukan dengan sum’ah oleh Allah maksudnya adalah diumumkan aib-aibnya di akhirat. Sedangkan dibalas dengan riya artinya diperlihatkan pahala amalnya, namun tidak diberi pahala kepadanya. Na’udzubillah min dzalik.
Dalam hadits yang lain, Rasulullah menjelaskan tentang kekhawatirannya atas umat ini terhadap riya yang akan menimpa mereka. Riya yang tidak lain merupakan syirik kecil.
“Sesungguhnya yang paling aku takutkan atas kalian adalah syirik kecil.” Para sahabat bertanya, “Apa yang dimaksud dengan syirik kecil itu, wahai Rasulullah?” Rasulullah menjawab, “Riya.” “Allah akan berfirman pada hari kiamat nanti ketika Ia memberi ganjaran amal perbuatan hamba-Nya, ‘Pergilah kalian kepada orang yang kalian berlaku riya terhadapnya.’ Lihat Apakah kalian memperoleh balasan dari mereka?” Kemudian Rasulullah mendengar seseorang membaca dan melantunkan dzikir dengan suara yang keras. Lalu beliau bersabda, “Sesungguhnya dia amat taat kepada Allah.” Orang tersebut ternyata Miqdad bin Aswad. (HR. Ahmad)
Demikianlah riya dan sum’ah akan membawa petaka di akhirat. Namun, tidak semua yang diperdengarkan berarti sum’ah. Dalam hal ini suara dzikir Miqdad bin Aswad tidak dikategorikan demikian. Karena riya dan sum’ah adalah penyakit hati, maka perbuatan fisik yang sama bukan berarti berangkat dari hati/niat yang sama. Bersambung ke Riya dan Sum'ah (2)
SUMBER :
http://muchlisin.blogspot.com/2010/04/riya-dan-sumah-1.html
Langganan:
Postingan (Atom)